Berita Jepang | Japanesestation.com
Perusahaan di Jepang Lebih Sering Pecat Karyawan
Ilustrasi dipecat. (sumber: ist)

Sebuah laporan yang disampaikan oleh Organisasi untuk Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Senin (19/1), menyebutkan bahwa lebih dari separuh warga Jepang yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih belum mendapat pekerjaan hingga setahun kemudian. Laporan internasional itu juga menambahkan, perusahaan-perusahaan di Jepang harus lebih fleksibel lagi jika ingin perekonomian negerinya membaik. Temuan-temuan itu muncul saat Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menandai tiga tahun kekuasaannya, setelah berjanji untuk membangkitkan perekonomian negeri Sakura yang lesu berkepanjangan, antara lain dengan memangkas birokrasi. Dalam laporan OECD terkait dengan bursa tenaga kerja di Jepang, disebutkan bahwa setiap tahunnya, sekitar 1,4 persen tenaga kerja kehilangan pekerjaaan mereka. Faktor usia yang lebih tua, para karyawan yang kurang berpendidikan dan karyawan kontrak berada pada risiko tinggi untuk tetap menganggur. “Sebagian kecil dari tenaga kerja Jepang terkena PHK secara signifikan setiap tahunnya dan kemudian menghadapi periode menganggur yang panjang sebelum memperoleh pekerjaan, Bahkan kerap kali dengan perolehan upah yang lebih rendah,” ungkap OECD. Laporan itu mengatakan, rata-rata antara 2002 dan 2013 hanya 48 persen dari mereka yang terkena PHK berhasil mendapatkan pekerjaan dalam kurun waktu 12 bulan. Para pencari kerja juga menderita karena rata-rata 20 persen dari pendapatan mereka dipangkas. “Tren ini masih berlangsung untuk tiga tahun mendatang dan bahkan empat tahun setelah perpindahan mereka. Pendapatan yang mereka peroleh sekitar 15 persen lebih rendah dari yang sebelumnya mereka peroleh,” ujar penulis utama dan ekonom senior OECD Paul Swaim, seraya mencatat bahwa ada pola serupa yang tengah diamatinya terjadi di negara-negara maju lainnya. Swaim menambahkan, biaya itu ditanggung oleh pekerja yang dipindahkan dan ada kencenderungan hal itu terjadi di banyak kasus. Jika ada peluang tersedia bagi karyawan untuk beralih ke jenjang karir menengah maka itu masih terbatas. Perlambatan matinya budaya kerja seumur hidup dan ketergantungan yang lebih besar pada pekerjaan paruh waktu atau pekerja lepas sangat berarti bagi para pekerja Jepang, bukan bagi perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan mereka. Karena para pekerja nyaris menanggung semua biaya kecil fleksibiltas yang dimiliki bursa tenaga kerja. “Di Eropa ada kata yang disebut dengan flexicurity, artinya fleksibilitas yang berekonsiliasi dengan keamanan bagi seluruh tenaga kerja. Hal itu berarti ada beberapa mobilitas antar pekerjaan, bukannya berarti jadi miskin selamanya sebagai pekerja,” ungkap Swaim. Deregulasi bursa tenaga kerja merupakan bagian penting dari rencana Abe untuk membalikkan negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia ini dengan aturan-aturan ketat pengangkatan dan pemecatan yang terkadang dipersalahkan karena ada tanggapan terus terang untuk merubah pasar global. Para pendukung Abe mengatakan tenaga kerja yang lebih fleksibel akan semakin baik mengizinkan para keluarga untuk merawat anak-anak dan jajaran naiknya jumlah lansia, serta memungkinkan perusahaan untuk beradaptasi lebih cepat. Namun, para kritikus mengatakan reformasi yang dijalankan berisiko merampas keamanan dalam bekerja.