Berita Jepang | Japanesestation.com

Meski telah melakukan berbagai strategi pencegahan seperti menyediakan kereta khusus wanita, stiker rasa malu yang tidak mungkin bisa dicuci, hingga menangkap para pelakunya, chikan atau pelecehan seksual dengan meraba-raba bagian tubuh wanita di kereta masih menjadi salah satu masalah serius yang ada di Jepang. Bahkan baru-baru ini sebuah segmen dalam program NHK, News Watch 9 menampilkan kumpulan post di media sosial tentang kegiatan pelecahan tersebut.

Di Jepang, tanggal 13 dan 14 Januari merupakan hari-hari penuh tekanan bagi banyak remaja karena bertepatan dengan Center Test, di mana banyak perguruan tinggi di negara tersebut memerlukan skor tinggi sebagai bagian dari kriteria penerimaannya. Para peserta ujian tidak mengikuti tes di kampus masing-masing, melainkan mereka harus pergi ke tempat ujian setempat pada pagi hari. Hal ini pun dimanfaatkan oleh beberapa pelaku kejahatan seksual.

Seperti yang disampaikan oleh NHK, ketika waktu ujian akan bergulir para calon pemangsa itu bahkan mengumbar rencana mereka untuk meraba-raba siswi sekolah di kereta pada pagi hari di dunia maya. Salah satunya dengan bangga mengungkap rencananya dengan mengatakan, "Saat Center Test berlangsung besok, kondisinya sangat bagus untuk chikan. Baiklah, besok aku akan naik kereta dan sedikit 'berkomunikasi' dengan gadis-gadis itu". 

Berikut ini adalah beberapa ungkapan dari pelaku chikan yang dibagikan oleh NHK.

"Besok adalah Center Test, dan waktu yang sangat bagus untuk chikan," "Kesempatan nomor satu untuk chikan adalah pada hari-hari Center Test." "Kalian bisa merasakan gadis-gadis yang kalian inginkan menuju Center Test dan bebas dari hukuman." "Besok Center Test? Ini adalah karnaval chikan." "Saya baru menyadari sesuatu yang menakjubkan. Jika kalian meraba-raba seorang gadis pada hari Center Test, Kalian tidak akan tertangkap, bukan?"

Center Test hanya diadakan sekali dalam setahun, dan semua peserta ujian diminta untuk datang tepat waktu, jika terlambat maka mereka hanya bisa ikut lagi di tahun depannya. Sementara itu, melaporkan insiden chikan memerlukan proses yang memakan waktu cukup lama. Korban pun harus menunggu kereta hingga mencapai stasiun berikutnya, lalu memanggil pihak berwenang yang tentunya tidak mudah ditemui.

Korban juga harus memberikan sebuah pernyataan, dan semua itu tentunya akan menghabiskan banyak waktu di mana mereka pun harus datang ke tempat Center Test tepat waktu. Ketika para siswi tersebut terpaksa untuk memilih antara membiarkan pelaku pelecehan seksual mereka lolos atau tidak dapat mengikuti ujian karena terlembat, kebanyakan dari mereka justru lebih memilih untuk membiarkannya demi dapat mengikuti ujian. Pentingnya datang tepat waktu ke tes ini bahkan membuat sebuah tempat les di Jepang membolehkan murid masuk dengan memecahkan kaca jendela sekolah tersebut.

Beberapa waktu lalu, sorang wanita asal Jepang bernama Kumi Sasaki juga telah menerbitkan sebuah buku yang menceritakan kisahnya menjadi korban chikan sejak usia 12 hingga 18 tahun. Dengan menulis buku tersebut, dia ingin membagikan dan menunjukkan seberapa dalam luka yang diperoleh dari perbuatan chikan.