Berita Jepang | Japanesestation.com

itako japan (2)

Masih ada dukun di Jepang. Itako adalah dukun atau medium yang secara tradisional telah dilakukan oleh para wanita tua yang buta atau penglihatannya terganggu yang dipanggil oleh orang-orang yang telah ditinggalkan anggota keluarganya untuk berkomunikasi dengan yang telah mati. Mereka memeluk agama rakyat dan berbagai tradisi animisme tetapi juga menyerukan dewa-dewa Buddha dan Shinto untuk meminta bantuan. Setiap Itako memiliki dewanya sendiri yang ia serukan. Beberapa menggunakan alat bantu seperti manik-manik dan busur bersenar untuk memanggil para dewa.

Itako secara tradisional telah dipandang rendah yang sedikit lebih seperti para pengemis. Mereka dianiaya pada periode Meiji dan mereka mencari perlindungan di tempat-tempat terpencil. Mereka sering berpakaian dalam pakaian compang-camping. Ketika orang lain melihatnya, mereka melemparkan kotoran kuda padanya. Itako dulunya adalah orang biasa di seluruh Jepang. Menurut salah satu peneliti mungkin ada 1 juta dari mereka yang berkeliaran di pedesaan, bekerja sebagai medium dan penyembuh, 150 tahun yang lalu. Mereka biasanya bepergian dengan yamabushi (Para pemimpin religi di Jepang). Hanya sekitar 20 orang Itako yang menetap, mereka sebagian besar berada di Aomori. Onmyoji adalah dukun tradisional yang terlatih dalam hal sihir Tao, Buddha dan Shinto. Mereka kadang-kadang dipanggil untuk melakukan pengusiran setan, yang dilakukan dengan meyakinkan roh-roh bahwa mereka harus pergi daripada dipaksa keluar. Buku Catalpa Bow: A Study of Shamanistic Practices in Japan di Jepang karya Carmen Blacker (Japan Library, 1999), judul buku tersebut mengacu pada instrumen/alat bersenar tunggal yang digunakan oleh para peramal Jepang untuk berkomunikasi dengan dunia spiritual. Dukun Itako di Aomori Entsuji, sebuah kuil Buddha di dekat sebuah danau kawah di Osorezan, sebuah gunung berapi komposit di tengah Shimokita Peninsula di Prefektur Aomori di Jepang utara, menggelar festival empat hari pada akhir Juli yang menampilkan Itako yang berkomunikasi dengan orang yang telah mati. Selama festival tersebut para wanita duduk di tenda-tenda biru dan orang-orang yang ingin berkomunikasi dengan orang yang dicintai yang telah mati membentuk antrian untuk bertemu dengan para wanita tua tersebut, yang memakan biaya 3.000 yen per roh per sesi selama 30 menit. Beberapa di antara mereka bekerja di kuil-kuil suci dan beberapa lainnya bekerja di rumah mereka di luar waktu festival. Beberapa bekerja sambilan sebagai peramal. Salah seorang Itako mengatakan kepada Daily Yomiuri bahwa ketika ia masih kecil penglihatannya yang buruk membuatnya tidak bersekolah dan "orang mengira saya aneh karena saya mengatakan hal-hal aneh." Ia mulai menyadari kekuatan Itako ketika ia mengetahui bahwa ia bisa memprediksi masa depan dari berbagai peristiwa, seperti bencana alam dan kecelakaan yang akan mempengaruhi orang-orang dan mampu menemukan benda-benda yang hilang milik orang lain. Itako berlatih sebagai dukun magang selama lima hingga tujuh tahun dan kemudian pergi melalui inisiasi dan serangkaian ujian ketahanan. Itako di atas mulai belajar kitab suci dengan telinganya ketika ia masih remaja dari seorang ahli Itako dan berhenti memakan daging dan telur. Ia menjadi Itako pada usia 18 tahun. Kokhan Sasaki, seorang profesor di Universitas Komazawa, mengatakan kepada Daily Yomiuri bahwa Itako berpakaian selama 100 hari dalam kimono putih sebelum upacara inisiasi mereka dan berhenti makan gandum, garam dan menghindari panas buatan. Sebagai bagian dari pelatihan mereka, mereka menuangkan air dingin pada diri mereka sendiri di tengah-tengah musim dingin dan menghafal kitab suci, sebuah tugas yang memakan waktu terutama bila mengingat bahwa mereka memiliki kesulitan dalam melihat. Selama upacara itu sendiri seorang calon Itako berpakaian sebagai pengantin dan menikah dengan seorang dewa dalam sebuah upacara yang melibatkan nyanyian dengan lonceng dan drum, yang suara-suaranya menyebabkan kerasukan. Kadang-kadang dibutuhkan waktu yang lama bagi para calon Itako untuk kerasukan. Ketika ia telah kerasukan, ahli Itako menentukan dewa mana yang telah merasukinya. Selama seluruh proses ini, Itako baru tidak diperbolehkan tidur dan hanya diberikan makanan daam jumlah minim. Pertemuan dengan roh yang dilakukan Itako di Jepang

itako japan (1)

Selama pemanggilan arwah dengan Itako yang dikenal sebagai Kuchiyose, Itako menerima tanggal kematian seseorang yang telah meninggal dan hubungannya dengan sang pelanggan. Ia kemudian mengguncang-guncangkan tasbih, mulai kerasukan dan bernyanyi untuk memanggil roh agar merasukinya. Roh tersebut biasanya mengucapkan terima kasih pada pemanggilnya, mendoakan keberuntungan dan kehidupan yang baik dan membahas hal-hal pribadi. Itako biasanya mengklaim bahwa mereka tidak tahu apa yang dikatakan saat mereka kerasukan. Mereka mengatakan bahwa sementara mereka kerasukan rasanya seperti mereka telah digenggam oleh kekuatan yang kuat dan pindah ke suatu tempat di mana mereka dapat menonton diri mereka sendiri. Pertemuan dengan roh berlangsung sekitar 10 menit. Melalui mediumnya, roh biasanya mengatakan sesuatu seperti, "Saya sangat menyesal karena telah meninggal sebelum orang tua saya, tapi saya senang bahwa Anda telah datang ke sini. Saya baik-baik saja, dan berharap Anda juga." Satu-satunya Itako pria di Jepang, Miki Fuji menulis di Daily Yomiuri, "Saya meminta Narumi untuk menghubungi nenek saya. Dia menutup matanya dan mulai menyanyikan puji-pujian kitab Buddha sambil menggosok manik-manik hitam di tangannya, hingga tiba-tiba pembicaraannya tertuju kepada saya... "Saya beristirahat dengan damai pada sebuah lotus dengan kakek. Ibumu mungkin akan sakit pada bulan Desember dan ini dapat berkembang menjadi pneumonia jika dia tidak berhati-hati. Tapi penyakit itu tidak akan menjadi serius jika ia mengambil tindakan pencegahan sedini mungkin." Para dokter mempelajari para subyek yang telah berpartisipasi dalam Kuchiyose untuk melihat apakah mereka memiliki efek penyembuhan dari ritual tersebut. Dalam survei yang terdiri dari 670 orang dengan penyakit kronis di wilayah Aomori, 35 persen dari mereka mengatakan mereka telah turut ambil bagian dalam ritual Kuchiyose. 80 persen dari mereka mengatakan pengalaman itu menguntungkan. Tiga puluh persen mengatakan mereka merasa sembuh secara mental dan 27 persen mengatakan mereka merasa tenang setelah berbicara pada para dukun. Salah satu dokter yang terlibat dalam penelitian ini mengatakan kepada Yomiuri Shimbun, "Kuchiyose memiliki pengaruh memberikan orang-orang rasa nyaman dan dorongan untuk hidup memikirkan tentang masa depan."