Berita Jepang | Japanesestation.com
Belajar Menjadi Tangguh Bencana di Museum
Koichi Yunoki, relawan di Museum Pengurangan Bencana Kobe, Jepang, menjelaskan proses rekonstruksi setelah gempa yang melanda Kobe tahun 1985, Jumat (16/1/2015). Museum yang didesain modern dan tertata apik itu menjadi wahana pengingat tragedi, sekaligus pembelajaran tentang kesiapsiagaan kepada masyarakat. Foto: KOMPAS/AHMAD ARIF

KOICHI Yunoki menjelaskan perbedaan konstruksi bangunan tahan gempa dan yang tidak dengan menggunakan alat peraga sederhana. Tiga model kerangka bangunan diletakkan bergantian di atas meja uji yang lalu digerakkan horizontal dan vertikal. Mirip gaya guncangan gempa.

Model dengan bantalan karet di fondasinya dan yang memiliki konstruksi silang bertahan dari guncangan ”gempa”. ”Namun, konstruksi ini belum cukup untuk menghadapi dampak liquefaction (pencairan tanah) akibat gempa. Diperlukan jenis fondasi dengan tiang pancang yang kedalamannya hingga bed rock (batuan dasar),” kata Kochi, relawan Museum Pengurangan Bencana Kobe, Jepang.

Lelaki dengan rambut memutih itu lalu menunjukkan proses terjadinya pencairan tanah dengan cara sederhana, tetapi mudah dimengerti. Satu kotak kaca diisi pasir dan air lalu diratakan. Air terserap ke dalam pasir sehingga seolah-olah menjadi daratan kering. Satu model bangunan diletakkan di atasnya.

Saat Koichi mulai mengguncangkan tanah itu naik-turun dan juga secara horizontal, dengan meniru gaya gempa, perlahan muncul genangan air di atas lapisan tanah. Model bangunan itu roboh, tenggelam dalam air. Koichi lalu mengganti model bangunan yang sudah dilengkapi fondasi tiang pancang. Sekali lagi ia mengguncangkannya, terjadi pencairan tanah, tetapi model itu masih berdiri.

Alat-alat peraga sederhana yang mudah dimengerti itu ciri dari Museum Pengurangan Bencana (Disaster Reduction Museum) Kobe. Museum dibangun untuk mengingatkan kehancuran akibat gempa, disusul kebakaran hebat, yang melanda Kobe, 17 Januari 1985. Sebanyak 6.243 orang tewas akibat gempa 7,2 skala Richter itu.

Museum dibagi dalam dua bagian: sayap timur dan barat. Sayap barat lebih banyak memberikan informasi dasar dan penjelasan apa yang terjadi saat gempa melanda Kobe. Sayap timur terdiri atas lima lantai.

Pengunjung biasanya akan diajak mulai dari lantai empat berupa perpustakaan dan studio audiovisual sehingga mereka seolah-olah merasakan sendiri gempa itu. Suara teriakan orang, gedung roboh, dan api yang menjalar setelah gempa seolah-olah mengepung kita. Di lantai yang sama terdapat pula ruang pemutaran film tentang kejadian gempa itu dengan pesan kuatnya, Kobe akan dibangun lebih kuat dan aman bagi generasi mendatang.

Di lantai tiga terdapat diorama kerusakan, juga proses rekonstruksi kota secara bertahap pasca bencana. Lantai itu juga didedikasikan sebagai ruangan memorial dan suara korban. Berbagai barang sisa dari gempa dipajang, mulai pernik kecil seperti buku dan album foto hingga sepeda motor. Semua barang itu disumbangkan masyarakat Kobe dilengkapi narasi dan foto-foto yang juga ditulis masyarakat.

Lantai dua berisi edukasi tentang bencana alam dan upaya yang bisa dilakukan untuk mencegahnya. Edukasi itu dibuat menyenangkan, bahkan bagi anak-anak dengan eksperimen sederhana dan permainan, seperti diperagakan Koichi Yunoki. Tak hanya soal gempa bumi, beberapa bencana alam lainnya juga dibahas, seperti banjir, topan, hingga tsunami.

Adapun di lantai pertama, selain pengarahan, pengunjung bisa berdiskusi dengan pemandu yang juga korban. Pengunjung disediakan ruang untuk bertukar pengalaman dan gagasan tentang kebencanaan. Beberapa alat dan logistik yang harus disiapkan di setiap keluarga untuk mengantisipasi kondisi darurat juga dipajang, misalnya berjenis beras instan dan biskuit yang bisa tahan hingga lima tahun. Logistik itu sangat mudah ditemui di toko-toko di Jepang.

Tempat belajar

Tidak hanya di Kobe, museum tentang kesiapsiagaan bencana tersebar luas di Jepang. Hampir setiap kota punya museum bencana, atau jika tidak, kantor pemadam kebakaran setempat juga menyediakan informasi dan simulasi agar lebih tangguh menghadapi bencana. Beberapa museum bencana lain yang terkenal di Jepang adalah Tokyo Rinkai Disaster Prevention Park, Honjo Bosai-kan, Tokyo Memorial Hall, dan Tsunami Disaster Storm Surge Station Osaka.

Seperti halnya Disaster Reduction Museum di Kobe, setiap museum itu punya ciri edukatif dengan format permainan dan sangat informatif sehingga menyenangkan. Dengan biaya tiket masuk sekitar Rp 50.000 per orang, pengunjung museum tak pernah sepi. Orang tua hingga anak-anak selalu datang, menjajal simulasi untuk menyelamatkan diri jika terjadi gempa. Bahkan, simulasi untuk memadamkan kebakaran. ”Banyak orang yang kembali ke sini tiga atau empat kali,” kata Koichi.

Sistem di Jepang memang memungkinkan museum selalu ramai didatangi pengunjung, terutama kalangan pelajar. ”Pemerintah Jepang tidak langsung memberikan dana subsidi ke museum, tetapi memilih menyubsidi sekolah agar berkunjung ke museum. Setiap tahun, ada satu kelas di sekolah-sekolah yang diberi dana biaya perjalanan dan tiket masuk ke museum. Dana inilah yang bisa dipakai untuk mengelola museum,” kata Abdul Muhari, peneliti tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang lama belajar di Jepang.

Di Kobe, misalnya, terdapat 720 sekolah yang setiap tahun mendapat dana berkunjung ke Disaster Reduction Museum. Jadi, setiap hari dalam setahun, minimal ada dua sekolah berkunjung ke museum itu, bergiliran pagi dan siang.

Melalui pemberian subsidi ke sekolah, museum dikunjungi rutin, sekaligus kemandirian dana operasional. Hal ini sekaligus memastikan bahwa setiap siswa pernah berkunjung ke museum untuk melihat dampak bencana dan belajar bersiaga.

Mengingat tragedi

Berbeda dengan di Jepang, museum di Indonesia kebanyakan masih disubsidi langsung negara. Selain itu, dari segi muatan isi, menurut Abdul Muhari, museum di Indonesia lebih banyak berfungsi menyimpan koleksi dan minim wahana edukasi, khususnya yang mendorong kesiapsiagaan.

Museum Tsunami di Aceh, misalnya, yang dibangun pasca tsunami 2004, kebanyakan masih berisi koleksi foto dan diorama statis. Pengunjung hanya disajikan kengerian tsunami, juga diperlihatkan deretan nama korban. Namun, belum ada simulasi, peraga, ataupun informasi memadai mitigasi bencana.

Sinung Baskoro, Kepala Museum Geologi-Bandung, mengakui, aspek pendidikan kesiapsiagaan dalam museum tsunami di Aceh masih kurang. Kebanyakan masih berfungsi untuk mengingat tragedi, belum pendidikan. ”Masih harus dikembangkan lagi,” kata Sinung yang juga membawahkan pengelolaan Museum Tsunami Aceh itu.

Dia menambahkan, sekalipun rentan bencana sebagaimana Jepang, hingga saat ini Indonesia belum memiliki museum yang dibuat khusus untuk mitigasi bencana. ”Kami memang punya Museum Merapi di Yogyakarta dan Museum Batur di Bali, tetapi belum spesifik tentang pendidikan mitigasi bencana,” katanya.

Sebenarnya, peluang untuk menjadikan museum sebagai wahana belajar sangatlah besar. Saat ini, Museum Geologi-Bandung saja didatangi sekitar 500.000 pengunjung setiap tahun. Sebanyak 85 persen pengunjung adalah pelajar.

Jadi, dengan koleksi dan simulasi yang lebih mendidik, museum seharusnya bisa menjadi sekolah sekunder bagi anak-anak agar lebih membudayakan kesiapsiagaan menghadapi bencana, sebagaimana dicontohkan Jepang... (Ahmad Arif)