Berita Jepang | Japanesestation.com
Alasan Mengapa di Jepang Restoran Vegetarian Tak Laku
Ilustrasi makanan khas jepang, sushi. (CNN Indonesia/ Pixabay/adonlinepromo)

Tokyo adalah ibu kota gastronomi dunia, yang memiliki restoran dengan bintang Michelin lebih banyak di antara kota lain di dunia. Namun, kota itu tertinggal dalam urusan jasa boga bagi kaum vegetarian yang tidak mengonsumsi daging. Pada 2020 mendatang, Jepang akan menjadi tuan rumah di ajang Olimpiade, gelombang turis vegetarian pun diprediksi berdatangan. Itu sebabnya, kelompok Tokyo Smile Veggies berusaha agar sekitar 50 ribu restoran di Tokyo menyediakan hidangan vegetarian ketika orang-orang tersebut datang. Rencana dimulai dengan menggelar lokakarya vegetarian. Selain menjelaskan makna vegetarian, pertemuan itu pun menawarkan resep dan pelatihan bagi para koki. “Kami tidak ingin menambah jumlah restoran vegetarian,” kata salah satu pendiri kelompok Tokyo Smile Veggies Aya Karasuyama seperti dilansir dari laman Independen, Jumat (2/1). “Kami ingin makanan vegetarian disajikan secara normal di restoran-restoran. Hal yang hampir tidak terjadi saat ini. Orang-orang berpikir vegetarian aneh dan hanya makan salad.” Dalam satu dekade terakhir, ada peningkatan popularitas dari vegetarian dan makanan vegan di Jepang. Bersamaan dengan meledaknya makanan makrobiotik. Sejak itu, sekitar 500 kafe dan restoran vegetarian dibuka. Pencetus diet mikrobiotik di JepangTren makanan makrobiotik hadir setelah Madonna datang pada tur musiknya Smap Smap 2006 silam di Jepang. Dia memesan makanan khusus untuk diet mikrobiotiknya,” kata seorang pemilik restoran. Kecenderungan restoran tradisional Jepang adalah tidak menyertakan makanan vegetarian. Sebaliknya, mereka menyediakan banyak menu dari daging dan makanan laut, atau mengkhususkan diri pada satu jenis makanan. Ahli kuliner Hanae Matsuya mengatakan, “Restoran vegetarian buka sepanjang waktu, tapi berakhir dengan penutupan selamanya. Orang-orang Jepang ahli dalam memasak sayuran di rumah, jadi saat ke luar dari rumah mereka biasanya ingin makan daging.” Matsuya berkata, makanan vegetarian telah menyelamatkan hidupnya. Perempuan itu beralih ke makanan makrobiotik setelah depresi akibat bencana tsunami Jepang pada 2011. “Setelah gempa segalanya berubah,” katanya. “Orang-orang lebih memerhatikan kesehatan, peduli tentang dari mana makanan berasal. Keamanan makanan begitu penting. Banyak orang Jepang sekarang tertarik pada pertanian organik.” Secara historis, Jepang telah memiliki tradisi vegetarian. Orang-orang beragama Buddha dilarang memakan daging, dan beberapa makanan vegan terlezat di dunia shojin ryori menjadi menu di kuil umat Buddha di penjuru Jepang. “Meski begitu, orang-orang Jepang tetap merasa jauh dengan makanan shojin ryori, memandangnya sebagai makanan khusus.” Guru makrobiotik dari Spanyol Patriciio Garcia de Paredes, yang tinggal di Yamanashi sebelah barat Tokyo, turut terbang ke Tokyo untuk pertemuan Tokyo Smile Veggies. “Para koki Jepang sangat baik memasak sayuran, tapi mereka mengira pelanggan hanya ingin daging,” katanya. “Di Eropa, 20 tahun lalu, ketika seorang vegetarian disajikan salad di restoran, semua orang akan merasa kasihan padanya. Namun kini semua benar-benar berubah. Saya yakin, Jepang pun demikian,” kata Paredes.